Sabtu, 31 Desember 2011

Ketahanan Pangan tidak Bisa Diserahkan Sepenuhnya ke Daerah

BANDUNG,(PRLM).- Persoalan ketahanan pangan tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah tingkat daerah. Pemerintah pusat harus tetap mengambil porsi untuk menjamin ketersediaan pangan di setiap daerah.
“Ada pengelolaan yang harus tetap dilakukan di tingkat pusat. Kalau sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah, dikhawatirkan akan jadi bargaining bagi daerah itu,” kata Kepala Puslitbang Inovasi dan Kelembagaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran, Trisna Insan Noor, di sela Semiloka Perberasan Jawa Barat di Kantor Bappeda Jawa Barat, Selasa (6/12).
Pernyataan tersebut dikemukakan menyusul pro-kontra seputar pembahasan Rencana Undang Undang (RUU) Pangan yang saat ini masih dibahas di tingkat pusat.
Setidaknya ada dua hal yang mendapat reaksi, yaitu pelibatan swasta dalam penyimpanan dan distribusi pangan serta pemberian kewenangan pengelolaan pangan kepada pemerintah daerah.
Trisna menilai, pemerintah pusat harus tetap memiliki porsi untuk mengatur ketahanan pangan. Pasalnya, setiap daerah memiliki kelebihan dan kekurangan berbeda untuk persoalan pangan.
Dia mencontohkan, Jawa Barat selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar produksi beras nasional. Untuk kebutuhan sendiri, Jawa Barat sudah mengalami surplus. Sebaliknya, ada daerah lain yang defisit, membutuhkan beras, tapi produksi tidak memadai.
Dengan gambaran seperti itu, tidak tertutup kemungkinan ada “kekacauan” dalam peta produksi dan distribusi pangan jika kewenangan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah.
Daerah yang unggul dalam produksi pangan strategis seperti beras akan memiliki posisi tawar tinggi dibandingkan daerah lain. Sementara daerah dengan produksi pangan rendah akan kesulitan memenuhi kebutuhan.
Untuk itu Trisna menegaskan, pengaturan produksi dan distribusi pangan sebaiknya masih dalam kewenangan pemerintah pusat. Terlebih karena pangan merupakan komoditas strategis yang berimbas ke banyak persoalan. “Pangan jangan diperlakukan seperti komoditas lain, karena ini juga komoditas politis,” katanya.
Khusus untuk beras, dia mengatakan, pemerintah juga harus memecahkan persoalan kerawanan pangan. Ironisnya, kerawanan pangan justru kerap terjadi di daerah sentra produksi.
Kondisi itu terjadi karena mobilitas beras cenderung tinggi. Beras dari sentra produksi biasanya cepat beralih ke daerah lain, misalnya sentra perdagangan beras Cipinang. Ini berpotensi membuat daerah sentra kekurangan beras karena stok kosong.
Di sisi lain, dia mengatakan, kerawanan pangan juga berkaitan dengan pola pertanian. Saat ini, sebagian besar petani juga berperan sebagai konsumen. Mereka menjual gabah hasil produksi untuk kemudian dibelikan beras dengan kualitas yang disesuaikan dengan daya beli.
Mengenai perberasan, hal senada dikatakan Ketua Harian DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Entang Sastraatmadja. Dilihat dari angka statistik, sebenarnya Jawa Barat hampir selalu mengalami surplus.
Tahun ini, diperkirakan surplus mencapai 2,2 juta ton. Angka tersebut diperoleh dari asumsi kebutuhan per kapita sekitar 105 kg per kapita per tahun. Dikalikan jumlah penduduk, total kebutuhan mencapai 4,7 juta ton beras, dengan total produksi 6,9 juta ton beras.
Namun angka tersebut tidak menjamin penduduk Jawa Barat benar-benar “aman” untuk pemenuhan kebutuhan beras. Tidak semua beras hasil produksi dinikmati warga Jawa Barat. Salah satu persoalannya adalah kedaulatan petani. Sekitar 90 persen petani Jawa Barat adalah petani “gurem” atau buruh tani, dengan lahan di bawah 0,25 hektare dengan kesejahteraan terbilang rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar