Sabtu, 31 Desember 2011

PRO KONTRA RUU PANGAN

JAKARTA - DPR diminta untuk menangguhkan terlebih dahulu pengesahan Rancangan Undang-Undang Pangan menjadi Undang-Undang. Alasannya, masih banyak sisi abu-abu dan lubang-lubang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Termasuk oleh para ‘pemain politik’ untuk mencari rente alias dana partai.

"Kesannya terburu-buru, padahal urusan pangan ini sangat vital bagi rakyat. Ada apa ini?” ujar Direktur Pusat Penelitian, Kebijakan dan Agribisnis Pangan Universitas Padjajaran, Bandung Ronnie Natawijaya yang merupakan alumni S3 bidang ekonomi Pertanian Universitas of Hawai, Amerika, itu, di Jakarta, Sabtu (12/11/2011).

Tiba-tiba saja, menurut Ronnie, RUU Pangan sudah memasuki proses pembahasan oleh pemerintah, dan tinggal satu pintu lagi untuk pengesahannnya.

"Padahal, kami dari pihak perguruan tinggi belum diminta masukan. Saya menanyakan kepada teman-teman pakar pangan atau ekonomi pertanian di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, banyak yang belum dilibatkan,” ujarnya.

Karena itu, dia menyarankan DPR selaku inisiator RUU Pangan menunda dulu pengesahan dan melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder kebijakan pangan.

Menanggapi tantangan DPR agar pihak kampus membuat draft tandingan, menurut Ronnie, tidak perlu sampai demikian. Tantangan itu ibarat membuka peluang yang muskil untuk dijalani.

Bukan berarti para pakar dari kampus tidak mampu membuat draf tandingan, namun Ronnie lebih memilih opsi memberikan masukan secara ilmiah, agar UU tentang pangan nantinya tidak malah melenceng dari konsep ketahanan pangan yang sedang dibangun negeri ini.

Ronnie mengaku skeptis dengan isi RUU Pangan yang sekarang sedang digodok oleh DPR dan pemerintah. Sebab, menurutnya, beberapa pasal dalam RUU tersebut mengandung muatan desentralisasi yang sangat kuat.

"Hal itu membuka peluang elit-elit daerah, mengatas namakan rakyat, melakukan importasi komoditas pangan utama demi keuntungan kelompoknya. Akhirnya RUU Pangan membuka peluang korupsi di daerah," ungkapnya.

Pernyataan Ronnie itu bukan tanpa dasar. Dari pengalamannya melakukan riset ekonomi pertanian di daerah-daerah, kemampuan pemerintah daerah dalam mengemas kebijakan pangan dan pertanian masih sangat lemah. Hal itu juga tercermin dari sistem otonomi daerah yang dibangun saat ini, terbukti masih diselimuti persoalan.

"Dari hasil riset saya terungkap bahwa hanya 10 dari ratusan pemerintah kota dan kabupaten yang memiliki konsen (perhatian) dan memahami potensi pertanian di daerahnya,” ujar Ronnie.

Terkait misi menggiatkan upaya diversifikasi dan menggali potensi pangan di daerah, Ronnie mengaku sangat setuju dengan maksud tersebut. Dengan catatan, daerah sudah mampu mengatasi kelemahan SDM dan insfrastruktur sudah siap.

Namun, menurutnya, belum saatnya daerah diberi wewenang penuh mengurusi kebijakan pangan. Jika ini dipaksakan, kata Ronnie, dikhawatirkan akan menambah persoalan. “Pemerintah daerah hanya akan mengejar PAD tinggi, sementara petani tetap terabaikan,” tegasnya.

Dalam bahasa Ronnie, desentralisasi pangan belum saatnya diterapkan saat ini, karena di daerah masih dalam proses menuju demokrasi. “Nanti kalau sudah lebih dewasa dalam berpolitik, sumberdaya manusianya juga sudah memadahi, saya setuju jika kebijakan pangan didesentralisasikan,” ungkapnya.

Urgensinya, kata Ronnie, bukan pada semangat desentralisasi pangan. Tapi memperbaiki otoritas pangan sesuai dengan kewenangannya. Misalnya, antara regulator dan operator masih belum bersinergi. Kerja sama antarlembaga harus dibangun dengan misi menyejahterakan rakyat.

“Sebagai contoh, saat ini antara Badan Ketahanan Pangan yang berada di bawah Kementerian Pertanian belum bersinergi dengan Kementerian Perdagangan dan Bulog,” ungkap Ronnie.

Pada dasarnya, Ronnie menilai, ketersediaan pangan di Indonesia tidak buruk. “Tinggal membereskan instrumen yang kami istilahkan sebagai food goverment dan membangun leadership tanpa harus merombak kelembagaan yang sudah ada. Sebab, merombak kelembagaan itu memerlukan biaya tinggi. Mengapa tidak mengoptimalkan yang sudah ada saja?” kata Ronnie.
Seluruh Fraski DPR RI menyetujui hasil Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan konsepsi RUU tentang Pangan yang telah dihasilkan oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Pangan untuk diajukan pada Rapat Paripurna DPR sebagai usul inisiatif Komisi IV.
            Keputusan ini disampaikan pada Rapat Pleno Baleg, Senin (24/10) yang dipimpin Ketua Badan Legislasi Ignatius Mulyono.
            Dalam laporannya, Ketua Panja RUU Pangan yang juga Wakil Ketua Baleg, Ida Fauziah mengatakan Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan konsepsi RUU tentang Pangan telah dilakukan Panja dengan mengadakan pembahasan secara intensif dan komprehensif melalui konsinyering baru-baru ini.
            Hal-hal pokok yang mengemuka dalam pembahasan RUU Pangan dan kemudian disepakati dalam Rapat Panja diantaranya adalah dalam aspek menimbang penegasan tentang perlunya UU Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan diganti dengan UU yang baru karena tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Selain itu, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Pasal 23 sampai dengan Pasal 60 yang mengatur cadangan pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke dan dari Indonesia, penganekaragaman pangan, krisis pangan dan keterjangkauan pangan melalui restrukturisasi pasal, penyempurnaan konsepsi pasal tanpa mengubah substansi dan perubahan teknis redaksional sesuai dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Panja juga menyepakati untuk menyempurnakan Pasal 67, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 76, Pasal 79, Pasal 82, Pasal 84 dengan menambahkan sanksi administratif. Perlunya Pasal 106  diberi penegasan tentang tugas dan wewenang Badan Otoritas Pangan (BOP) yang akan dibentuk.
Ida mengatakan, pembahasan yang sangat krusial dan mendalam dalam RUU Pangan adalah terkait dengan norma kelembagaan (Bab X Pasal 105 – Pasal 109) yang mengamanatkan pembentukan lembaga baru yaitu Badan Otoritas Pangan (BOP).
Tetapi, kata Ida, mengingat BOP tersebut merupakan hasil integrasi/peleburan dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Dewan Ketahanan Pangan dan Badan Usaha Logistik (Bulog), maka rumusan RUU hasil  Pengharmonisasian, Pembulatan dan Pemantapan konsepsi terkait dengan norma kelembagaan dapat disepakati sebagai bagian yang relevan dan strategis. Karena itu, aspek kelembagaan dapat disetujui sebagai bagian dari rumusan norma RUU.
Dalam Pandangan Mini Fraksi yang disampaikan pada Rapat Pleno tersebut, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerindra dan Fraksi Partai Hanura menyetujui RUU yang telah diharmonisasi ini diajukan ke Rapat Paripurna tanpa catatan khusus.
Terhadap hasil harmonisai ini F-PKB memberikan catatan agar Badan Otoritas Pangan yang didalamnya dapat melakukan kerjasama dengan BUMN, agar BUMN yang diberi tugas oleh BOP sedapat mungkin bekerjasama dengan lembaga-lembaga pertanian di masyarakat, seperti kelompok petani, organisasi petani dan sebagainya, dan tidak lebih bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha di dalam negeri.
Fraksi PAN menekankan Pasal-pasal yang sudah diharmonisasi agar dipertahankan agar substansinya tidak melebar kemana-mana.
Fraksi PPP berpendapat untuk mewujudkan swasembada pangan yang berkelanjutan  maka diperlukan sistem perlindungan pangan  baik bagi produsen pangan, konsumen pangan dan distribusi pangan dengan harga yang terjangkau serta juga memperhatikan keyakinan masyarakat Indonesia mengenai pangan.
Salah satu upaya untuk membangun sistem pangan tersebut melalui penyusunan perubahan UU tentang Pangan.
Sementara Fraksi Partai Golkar mendukung RUU yang memberikan perlindungan kepada petani dan ketersediaan pangan ini. F-PG memberikan beberapa catatan diantaranya mendorong perluasan definisi tentang pangan, strategi ketahanan pangan harus digambarkan dengan jelas dalam RUU ini.
Catatan lainnya, pangan dan otonomi daerah perlu mendapat kajian lebih kuat, terkait dengan kelembagaan pangan harus didasari oleh sistem pertanian tradisional dengan dukungan jutaan petani. Oleh sebab itu, sistem tradisional harus betul-betul dapat dipadukan dengan sistem modern yang ada sehingga ketahanan ini betul-betul mendapat support yang sangat kuat dari pihak pemakai, penyedia dan dari pihak pemerintah itu sendiri.
F-PG berharap revisi UU ini bukan untuk melakukan tinjauan kembali terhadap paradigma pembangunan pangan nasional, tetapi juga dapat merumuskan pokok-pokok kebijakan dan landasan hukum yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya efisiensi dan modernisasi daripada daya saing terhadap pangan tersebut.
F-PKS memandang bahwa materi muatan dalam UU Pangan sifatnya masih sangat umum dan banyak dilakukan pendelegasian, pengaturan yang mengakibatkan banyak ditemui kendala dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal penegakan hukum menyangkut penerapan sanksi yang relatif masih rendah dan ini dikhawatirkan tidak menimbulkan efek jera.
Oleh karenanya, F_PKS mendorong perlu diatur secara lebih tegas ketentuan pidana atas pelanggaran ketentuan perundangan selain sanksi administrasi dalam RUU ini.
Catatan ke dua, F-PKS mendukung diaturnya tentang cadangan pangan nasional sebagai persediaan pangan di seluruh pelosok wilayah Indonesia untuk konsumsi manusia, bahan baku industri dan untuk menghadapi keadaan darurat yang sejalan dengan UU Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar